Amenangi jaman edan, ewuh oyo ing pambudi, melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni boja keduman melik, kaliren wekasanipun, ndilalah karsa Allah, begjo begjane kang lali, luwih begjo kang eling lawan waspodo.
Hidup dijaman edan, begitu susahnya, ikut edan tidak tahan, jikalau tidak ikut tidak kebagian akhirnya bisa kelaparan, sudah kehendak Allah, betapa senangnya hidup menyimpang, lebih bahagia hidup dengan kesadaran dan kewaspadaan.
Apa ini namanya jaman sudah edan?. Dewa-dewa sudah tak bermoral, orang-orang baik menjadi manusia bodoh, hukum berbalik, yang kerja keras tetap menderita, yang tak banyak bekerja justru berfoya-foya, yang jujur selalu salah, yang tak jujur selalu benar, kejujuran adalah kebohongan, kebohongan adalah kejujuran.
Dari tidak ada menjadi ada, tetapi dari yang ada semakin tidak ada, yang kuning menjadi biru, yang biru menjadi kuning. Dewasa ini absurditas masih realitas, bahwa kriminal adalah pahlawan bangsa, sedangkan pahlawan sejati dijadikan kriminal.
Para dewa sudah kehilangan akal sehat, hati nurani dan budi pekerti tidak lagi menaungkan diri pada nilai-nilai kebajikan (virtues).
Dari tidak ada menjadi ada, tetapi dari yang ada semakin tidak ada, yang kuning menjadi biru, yang biru menjadi kuning. Dewasa ini absurditas masih realitas, bahwa kriminal adalah pahlawan bangsa, sedangkan pahlawan sejati dijadikan kriminal.
Para dewa sudah kehilangan akal sehat, hati nurani dan budi pekerti tidak lagi menaungkan diri pada nilai-nilai kebajikan (virtues).
Itulah sekelumit gambaran kenyataan tata kehidupan yang sedang dialami di negeri Kahyangan yang dipimpin oleh Batara Guru.
Melihat kondisi negeri yang sudah carut marut ini, Kyai Semar Bodronoyo terpanggil hati nuraninya untuk menyudahi krisis di negeri Kahyangan ini.
Semar ingin menegakkan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan. Sudah menjadi tekad bulat dan akan mengerahkan segenap kekuatan lahir batinnya. Semar dengan mata batinnya melihat bahwa saat itu Batara Guru terlalu kuat dan mendominasi kahyangan Jonggring Saloka. Peran panggung semuanya telah dikuasai, mulai dari sistem hingga lighting kehidupan telah direnggut dan dikangkangi. Sistem inilah yang membuat para dewata lain tidak berkutik, bahkan cenderung “yes man”, bahkan kecut dan penakut. Semua dewata takut kehilangan kekuasaannya, posisi dan perannya takut luntur dan ludes jika harus beroposisi. Sisi lain muncul pula penyalah gunaan wewenang, serta merta hal itu terjadi karena struktur politik kahyangan terkondis otoriter, apalagi penyalah gunaan wewenang oleh ketua ikatan wanita dewata yakni Dewi Durga yang notabene permaisuri Batara Guru.
Akhirnya kayangan menjadi inharmoni, ketika betari Durga berkolaborasi dengan Wadyabala jin priprayangan. Onar pasti terjadi.
Tampaknya para kesatriya berbudi luhur yang suka akan kedamaian tak berdaya menghadapi kesaktian sang Betari. Mereka taku dan ciut nyali, karena kalah perbawa dan kalah subasita, apalagi Betari Durga itu termasuk jajaran elite.
Para satriya berikhtiar dan merenung diri seraya menerawang pikir, kira-kira modal apakah yang mampu digunakan untuk mengimbangi kekuatan betari Durga, jika ada yang dapat digunakan untuk menggulingkan angkara murka Dewi Durga.
Akhirnya sebuah imbangan hadir, muncullah sang Pramono Agung, dialah Kyai Lurah Semar Bodronoyo.
Semar akhirnya menjadi imbangan, tidak hanya kesaktian, namun dahsyatnya nurani yang tak tersentuh jiwa iri dengki dapat melumat dan melipat-lipat keangkaraan yang di putar oleh Betari Durga.
Semar akhirnya menjadi imbangan, tidak hanya kesaktian, namun dahsyatnya nurani yang tak tersentuh jiwa iri dengki dapat melumat dan melipat-lipat keangkaraan yang di putar oleh Betari Durga.
Inilah ringkasan salah satu cerita Semar Gugat, yang merupakan simpulan filosofis bahwa kawula alit itu memberikan koreksi pada para dewata yang telah terkikis nuraninya. Semoga menjadi bahan renungan kita semua.
0 comments:
Post a Comment