Pasca meninggalnya Gus Dur, para pejabat, politisi dan pengamat sibuk dengan wacana untuk memberi penghormatan duniawi yang terakhir kepada Gus Dur. Ada yang ingin menjadikan nama Gus Dur sebagai nama jalan raya di Jakarta Pusat, menobatkannya sebagai pahlawan nasional, hingga merehabilitasi namanya dari kasus Buloggate dan Bruneigate yang melengserkan dirinya dari singgasana kepresidenan pada bulan Juli 2001 silam.
Menyanggupi usulan Partai Golkar, PDIP, PKS, PPP, PKB dan para tokoh nasional, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setuju dan akan mempertimbangkan masukan sejumlah pihak untuk menganugerahi Gus Dur menjadi pahlawan nasional. Sesuai UU No 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang baru disahkan pada Mei tahun lalu, masukan nama calon pahlawan nasional harus dibahas lebih dulu. Yakni oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang hingga kini belum terbentuk.
“Tentu presiden sudah mendengar usul berbagai pihak. Presiden menghargai dan menerima pernyataan seperti itu dan menjadi masukan buat presiden. Namun, presiden akan tetap mengacu UU No 20/2009 yang telah disetujui bersama DPR,” kata Juru Bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, Ahad (3/1).
Sedemikian pentingkah gelar pahlawan bagi alm. Gus Dur? Ternyata tidak! Sahabat karib Gus Dur, KH Mahfudz Ridwan LC, Pengasuh Ponpes Edi Mancoro, Tuntang, Kabupaten Semarang, menyatakan, jika saja Gus Dur masih hidup, ia pasti enggan mendapat gelar pahlawan. Pernyataan ini disampaikan di aula Ponpes setempat, Senin (4/1) malam. Keyakinan Mahfudz bukan tanpa alasan, tapi ia mengenal betul bahwa Gus Dur bukanlah orang yang suka dengan gelar.
Di samping itu, ada hal yang tak kalah pentingnya daripada penghormatan “lipstik” itu, yaitu melaksanakan wasiat Gus Dur semasa hidupnya, terutama pada detik-detik kematiannya.
..Pesannya dua, turunkan SBY dan gantikan dengan pemerintahan baru...
Budayawan Ridwan Saidi membeberkan wasiat terakhir Gus Dur yang disampaikan 30 tokoh politik pada tanggal 4 Desember 2009 di bekas kediaman mantan Wakil Ketua DPR RI Soetardjo Soerjogoeritno (Mbah Tardjo), Jalan Denpasar, Jakarta Selatan.
Ridwan menjelaskan, memang ada pada "pertemuan politik" antara dirinya, Gus Dur, dan Mbah Tardjo dengan sejumlah tokoh pada waktu itu. Hadir pula sejumlah jenderal dari kalangan TNI dan tokoh aktivis seperti Sri Bintang Pamungkas. Dalam pertemuan yang sekaligus digelar sebelum Mbah Tardjo pindah ke Lenteng Agung tersebut, Gus Dur menyampaikan keinginannya agar SBY diturunkan dari jabatan sebagai presiden RI.
“Pesannya dua, turunkan SBY dan gantikan dengan pemerintahan baru,” ujar Ridwan Saidi dalam diskusi di markas Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) di Jl Diponegoro 58 (eks kantor PDI), Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (3/1).
Hadir dalam diskusi itu antara lain pengacara Eggy Sudjana, politikus Sri Bintang Pamungkas, budayawan Ridwan Saidi, paranormal Ki Gendeng Pamungkas, dan lainnya.
Gus Dur, masih kata Ridwan, banyak mengkritik peranan asing dalam kebijakan ekonomi Indonesia. Ridwan menambahkan, kendati soal kasus Bank Century juga menjadi persoalan pokok dalam pertemuan itu namun dirinya tidak begitu tertarik.
Gus Dur, masih kata Ridwan, banyak mengkritik peranan asing dalam kebijakan ekonomi Indonesia. Ridwan menambahkan, kendati soal kasus Bank Century juga menjadi persoalan pokok dalam pertemuan itu namun dirinya tidak begitu tertarik.
Tuluskah penghormatan para politisi dengan rencana pemberian gelar “pahlawan” itu? Hanya Tuhan dan para politisi itu yang tahu. Jika mereka benar-benar tulus menghormati Gus Dur tanpa ada tendensi apapun, beranikah mereka melaksanakan dua wasiat Gus Dur menjelang kematiannya, yaitu menurunkan SBY dan mengganti dengan pemerintahan baru? Jika tidak, berarti mereka tidak tulus atau mereka menganggap wasiat Gus Dur tak relevan dengan kepentingan mereka![taz/rmol/surya]
0 comments:
Post a Comment