Ketika sore menjelang maghrib, sebuah keluarga yang akan berbuka, tetapi mereka hanya dapat duduk, termangu. Sang ayah, hanya dapat memandangi keluarganya, isteri, anak, dan seorang cucunya. Keluarga itu tidak jauh dari Jakarta. Seperti sedang bingung. Karena, nyaris tak ada hidangan yang dapat di santap, saat berbuka. Itu peristiwa Ramadhan tahun lalu, sebuah keluarga yang kurang berhasil dalam hidupnya.
Maghrib, keluarga yang miskin itu, hanyalah dapat menikmati hidangan, singkong rebus, dan tempe. Masing-masing hanyalah makan tiga potong singkong dan sepotong tempe. Barangkali itulah hidangan satu-satunya yang dinikmatinya saat berbuka.
Kehidupan memang tidak ramah bagi orang-orang yang miskin diperkotaan. Kehidupan mereka tentu sangat berbeda, terutama bagi mereka yang dapat menikmati buka puasa di hotel-hotel yang mewah, yang menyajikan bebagai menu.
Entah sudah berubah atau belum nasib keluarga itu? Mungkin tidak, dan tetap miskin. Karena, kepala keluarga itu, hanyalah seorang kuli galian, yang tidak mungkin nasibnya dapat berubah dengan mendadak. Tetap saja. Setiap pagi berjalan kaki mengelilingi komplek, dan terkadang duduk dipinggir jalan, menunggu siapa yang saja akan memperkerjakannya. Terkadang, seharian tidak ada yang mengajak bekerja. Entah bagaimana nasib selanjutnya.
Hanya saja seperti yang pernah diucapkannya, kehidupan yang dialami itu sudah berlangsung dalam waktu yang lama. Nasibnya tak hendak berubah. Isterinya menjadi buruh cuci, di tetangganya dengan gaji Rp 300.000 rupiah setiap bulan. Tidak cukup untuk membiayai anaknya yang masih duduk di bangku sekolah SD. Menantunya seorang buruh, yang baru saja terkena PHK, dan belum mendapatkan pekerjaaan lagi. Sekarang pabrik-pabrik sangat jarang mau menerima pekerja laki.
Suatu malam menjelang pukul 03.00 dini hari, saat akan melakukan sahur, ibunya hanya mampu menyuguhkan menu yang tetap, singkong dan tempe, bagi mereka yang berlima. Tentunya, mereka harus tetap berpuasa, dan menahan keinginan untuk makan yang lebih enak, seperti telur dan daging.
Kehidupan keluarga itu, hanya dapat memakan daging, barangkali hanyalah setahun sekali, saat di bulan haji, yaitu Idul 'Adha. Tetangganya masih ada yang berbaik hati, memberikan daging korban. Selebihnya tidak pernah lagi merasakan daging.
Entahlah bagaimana kehidupan di bulan Ramadhan tahun ini? Keluarga itu sangat bersahaja. Kehidupan yang dihadapinya penuh dengan derita. Keluarga itu tidak berpendidikan. Anak-anaknya hanyalah lulusan SMP atau SD. Anaknya yang baru lulus SMP, bekerja di sebuah loundry (tempat perusahaan cuci/strika), sehari hanya digaji Rp 10.000 rupiah. Terus setiap hari disuruh mencuci karpet. Tidak kuat pisiknya, dan akhirnya keluar dari tempat kerjanya. Anak perempuannya dipecat dari pabrik, karena tidak masuk kerja, gara-gara anaknya yang masih kecil sakit.
Seperti sudah menjadi rutinitas setiap tahun menjelang Ramadhan, semua harga kebutuhan pokok langsung melambung. Tidak ada kebutuhan pokok, yang harganya stabil. Semua naik. Apalagi, sekarang ini kenaikan itu dipicu dengan kenaikan tarif dasar listrik (TDL), dan para penimbun dan pengusaha dengan sikapnya yang mereka miliki, sudah menaikkan harga-harga yang ada. Kenaikkan TDL itu menjadi dasar alasan mereka untuk menaikkan harga-harga kebutuhan pokok. Semuanya mencekik rakyat kecil, yang tanpa penghasilan yang jelas.
Tetapi, semuanya masa bodoh, tidak peduli, dan kehidupan tetap berlangsung. Orang kaya dengan gaya hidupnya sendiri. Tetap menikmati gaya hidup kelas tinggi, di hotel, cape, apartemen, dan hidangan yang serba mewah, bahkan makanan mereka tersisa, dan dibuang, dan menjadi rebutan orang-orang miskin, yang mencari sisa-sisa makanan di bak-bak sampah.
Negeri yang tidak memiliki belas kasihan kepada orang-orang miskin, dan membiarkan orang-orang miskin dengan kehidupannya sendiri. Kembali mereka menjelang Ramadhan hanya dapat menikmati singkong dan tempe, yang mereka gunakan berbuka dan sahur.
Ketakwaanlah yang membangkitkan hati sehingga bisa dan mampu melaksanakan kewajiban puasa. Taqwa juga yang menjaga hati dari kemaksiatan yang merusak puasa. Taqwa manjadi tujuan akhir dari jiwa dan puasa merupakan jalan menujunya. Inilah ungkapan indah al-Quran dengan kalimat la allakum tattaqun (agar kamu menjadi orang yang bertakwa).Ibadah puasa menjadi titian menuju dermaga takwa. Ketakwaan merupakan jelmaan dari bentuk pengakuan akan status kehambaan seorang manusia kepada Tuhan. Ketakwaan merupakan pakaian dan keimanan, karena iman tidak akan memiliki nilai, bobot, dan makna apa pun jika tidak ditutupi dengan busana taqwa. Di sinilah tepatnya ungkapan al-iman uryan walibasuhu al-taqwa (iman itu telanjang dan busananya adalah takwa). Dengan demikian, para ulama mendefinisikan takwa menjadi kepatuhan, dalam menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Puasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari takwa yang terakumulasi dari terjemahan titah transendental Tuhan. Secara etimologi (lughawi), puasa (al-shaum) memiliki arti al-imsak (menahan). Pengertian spesifiknya (istilah) adalah menahan diri dari makan dan minum dan segala yang membatalkan puasa, dari mulai terbit fajar hingga tenggelamnya mentari. Ini artinya, berpuasa adalah usaha menahan diri dari perilaku konsumtif yang terlambangkan oleh perut dan tenggorokan.
Puasa adalah pengendalian diri sikap hedonistis dan berlebihan, yang tersimbol dari keinginan nafsu yang tidak bermuara. Adalah maklum bahwa segala keinginan perut jelas tak mungkin untuk dibatasi, karena Rasul sendiri sudah menganalogikan perut dengan bumi. Jika bumi menerima segala apa pun yang tertumpah di atasnya, perut juga menampung apa saja yang dimasukkan ke dalamnya.
Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam bukunya Minhaj al-Abidin menulis, perumpamaan yang indah tentang urgensi mengendalikan perut. al-Ghazali mengulas ungkapan teks hadits yang disabdakan Rasul, "Jangan matikan hatimu dengan banyak mengkonsumsi makanan dan minuman, karena hati akan mati seperti tanaman yang mati karena kebanyakan air siraman".
Dari sabda Rasul ini, para shalihin (orang-orang saleh) mengumpamakan lambung seperti kuali yang berada di bawah hati. Kuali itu selalu mendidih dan asapnya menerpa hati. Jika kebanyakan asap yang menyelimuti hati, ia akan mengeruh dan menghitam. Jika hati selalu keruh dan hitam, kejahatan menjadi kawan sejolinya. Syahwat duniawi menutupi gumpalan hati hingga mematikan nurani.
Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=458563140209
0 comments:
Post a Comment